Powered By Blogger

Kamis, 16 Desember 2010

Penurunan Muka Air Tanah di Bandung

Penduduk kawasan Bandung Raya pada tahun 2005, diperkirakan mencapai 7 juta orang. Jika kebutuhan air bersih per hari perorang sebanyak 125 liter, maka kebutuhan air yang harus tersedia sekira 350 juta m3/tahun. Kebutuhan air bersih untuk industri diperkirakan mencapai 132 juta m3/tahun, sedangkan untuk keperluan sosial (tempat ibadah dsb.) dan perkantoran diperkirakan mencapai 30 juta m3/tahun. Dengan demikian, kebutuhan air bersih di kawasan ini mencapai 512 juta m3/tahun.Pemenuhan kebutuhan air bersih yag disediakan melalui PDAM masing-masing adalah PDAM Kota Bandung baru bisa menyediakan sekira 560 liter/detik atau 17 juta m3/tahun. Sedangkan PDAM Kab. Bandung – Cimahi mencapai 613 liter/detik atau sekira 19 juta m3/tahun. Secara keseluruhan, pemenuhannya mencapai 36,5 juta m3/tahun dengan proporsi sumber air bakunya 40% berasal dari air permukaan dan 60% dari air tanah.Pemenuhan kebutuhan air bersih yang langsung berasal dari air permukaan cukup kecil. Terlebih, di daerah perkotaan hampir semua air permukaan sudah mengalami pencemaran. Oleh karena itu, pengguna berpaling ke air tanah sehingga sumber ini menjadi andalan di dalam pemenuhan kebutuhan tersebut. Alasan lain, masyarakat lebih banyak menggunakan air tanah di antaranya mudah didapat, tidak memerlukan tempat yang luas, misalnya cukup dengan pipa ukuran diameter satu inchi, air yang didapat umumnya bersih dan biaya untuk mendapatkannya relatif murah.dan menurut badan geologi energi dan sumber daya minera. dan ini foto lansat citra satelit penurunan daerah bandung


(foto lansat citra satelit penurunan daerah bandung)



Pada tahun 1980, kedudukan muka air tanah di Cimahi mencapai 15 meter di atas permukaan tanah (+15 m), Kebon Kawung +22 m, Rancaekek +1 m, Margahayu (Lanud Sulaeman) + 7 m, Dayeuh Kolot +2 m, Banjaran +2 m, dan Majalaya +3 m. Namun, pada tahun 2004 permukaan air tanah di tujuh lokasi tersebut jauh menurun. Di Cimahi mencapai 86 m di bawah permukaan tanah (-86 m), Kebon Kawung -36 m, Rancaekek -39 m, Margahayu (Lanud Sulaeman) -14 m, Dayeuh Kolot -55 m, Banjaran -20 m, dan Majalaya -41 m.Kalau kita perbandingkan kondisi tahun 1980 dan tahun 2004-2005, sebelum tahun delapan puluhan masyarakat di tatar Bandung tidak mengalami kesulitan. Dengan cara membuat sumur bor pantek dengan kedalaman sekitar 40 m dari permukaan tanah, air tanahnya sudah bisa keluar sediri tanpa dipompa (masyarakat mengatakan air artetis). Air tanah bisa menyembur sampai sampai setinggi 20 meteran di atas permukaan tanah.

Jumlah sumur bor yang terdaftar (berizin) dan perubahan jumlah pengambilan air tanah terlihat pada gambar 4. Pada gambar ini memperlihatkan jumlah sumur bor dan debit pengambilan per tahun dan terlihat adanya pegaruh ekonomi awal tahun 80-an dan tahun 1997, yang memperjelas pengguna air tanah melalui sumur bor adalah industri. Kenyataan di lapangan kemungkinan berbeda, mengingat terjadinya perbedaan yang tinggi antara kebutuhan dan jumlah pengambilan yang terdaptar, sedangkan sumber pemasok selain dari air tanah tidak ada.


Permukaan Tanah Menurun 4 cm Setiap Tahun.Kepala Pusat Lingkungan Geologi (PLG) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ir. Danaryanto, M.Sc. mengingatkan, agar pemerintah daerah setempat tidak berleha-leha dan harus benar-benar melakukan pengawasan ketat terhadap penggunaan air tanah."Jangan sampai kejadian di Pacitan, Jawa Timur, terjadi di kita. Di sana, air sangat sulit. Untuk mendapatkan air, masyarakat harus mengambil dari tempat yang sangat jauh. Kalaupun ada yang menjual, harganya mahal. Banyak penduduk terpaksa menjual sapi atau kambing hanya untuk mendapatkan air," ujarnya saat ditemui di ruang kerjanya di PLG, Jln. Dipenogoro, Bandung Menurut Danaryanto, wilayah Kota Bandung yang harus diwaspadai penurunan air tanahnya, di antaranya Moh. Toha, Andir, Cicendo, dan Sukajadi. Sejumlah wilayah tersebut dikategorikan air tanahnya rusak. "Memang di sana tidak semuanya, tetapi dalam beberapa titik saja. Kendati demikian, harus segera diantisipasi. Jika tidak, bencana air tanah akan terjadi di beberapa wilayah tersebut," tuturnya.Danaryanto menambahkan, sejumlah wilayah yang sudah dikategorikan kritis air tanah adalah Babakan Ciparay, Bandung Kulon, Bojongloa Kaler, Kiaracondong, dan Batunung-gal. Sedangkan selebihnya, dikategorikan rawan dan aman. "Wilayah yang dikategorikan rusak harus dilakukan pengawasan ketat terhadap pengambilan air tanah. Selain itu harus dilakukan konservasi, misalnya membuat resapan tanah," ujarnya.

                                                                                                                                   


Faktor inilah yang menyebabkan terjadinya pemakaian air tanah menjadi boros, merasa air tanah sebagai barang temuan, dan ada anggapan seolah-olah tidak berharga. Padahal, jika ditinjau dari dampak negatif yang akan terjadi, perlakuan tersebut bertentangan dengan makna pembangunan yang diinginkan. Terbukti, kondisi air tanah di beberapa tempat sudah masuh ke daerah rawan sampai rusak. Kawasan Bandung termasuk empat daerah di Indonesia yang mengalami parah kerusakan air tanahnya.



Kondisi air tanah Bandung

Secara topografi kawasan Bandung Raya membentuk satu cekungan. Akan tetapi, jika ditinjau dari keberadaan air tanahnya, di dalam cekungan tersebut terbagi menjadi tiga cekungan air tanah (CAT), yaitu CAT Bandung – Soreang yang melampar di Kab.Bandung, Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kab. Sumedang. Setelah itu, CAT Lembang dan CAT Batujajar. Keduanya berada di Kab. Bandung. Potensi ketiga CAT tersebut sebesar 1.196 juta m3/tahun yang terdiri dari 1.062 juta m3/tahun berada pada akuifer tidak tertekan atau lebih populer di masyarakat sebagai air tanah dangkal. Sisanya, 134 juta m3/tahun berada pada akuifer tertekan atau lebih populer disebut air tanah dalam.



Air tanah dangkal

Air tanah dangkal di kawasan Bandung, umumnya berada pada kedalaman kurang dari 40 meter dari permukaan tanah. Akuifer air tanah ini bersifat tidak tertekan, sangat mudah dipengaruhi oleh kondisi lingkungan setempat. Hal ini disebabkan karena antara air tanah pada akuifer dan air yang ada di permukaan tanah tidak dipisahkan oleh lapisan batuan yang kedap (tidak tembus air). Jika terjadi hujan, air yang meresap ke dalam tanah akan langsung menambah air tanah ini. Perubahan air tanah ini akan terlihat jelas pada sumur gali, di mana pada musim hujan air tanah selalu lebih dangkal daripada muka air tanah pada musim kemarau. Selain itu, air tanah ini mudah terkontaminasi kotoran, terlebih kotoran yang berasal dari septictank di daerah padat penduduk.


Air tanah dalam

Air tanah ini disebut air tanah dalam karena keberadaannya cukup dalam, sehingga untuk mendapatkannya harus menggunakan alat bor besar. Air tanah ini berada pada akuifer kedalaman antara 40-150 m dan di bawah 150 m. Akuifer ini bersifat tertekan dan tidak dipengaruhi oleh kondisi air permukaan setempat karena antara air tanah pada akuifer dan air yang ada di permukaan tanah dipisahkan oleh lapisan batuan yang kedap. Air tanah ini mengalir dari daerah resapannya di daerah yang bertopografi tinggi, sekitar Takubanparahu, Dago Atas, Ciwidey, Pangalengan, Gunung Malabar, dan sebagian kecil dari timur Cicalengka. Perubahan kondisi air tanah pada musim hujan dan pada musim kemarau tidak kentara.


Cara Pengambilan air tanah

Sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk dan industri, sementara pada sisi lain kemampuan pasok PDAM baru 7 persen saja, pengambilan air tanah dipastikan terus meningkat. Hal ini menjadi dilematis karena untuk memenuhi kebutuhan air, proses pengambilan air tanah dilakukan secara besar-besaran dan tak terkendali. Dampak negatif yang timbul adalah perubahan lingkungan seperti muka air tanah makin dalam, sehingga untuk mendapatkan air kian sulit dan mahal. Selain itu, terjadi pula pencemaran air tanah, terutama pada air tanah dangkal. Terjadi pula penurunan muka tanah (landsubsidence). Semestinya, air tanah tidak boleh diambil semua atau dikuras dari akuifer yang ada. Batas aman adalah 30 – 40 persen dari potensi yang ada. Sedangkan yang lainnya harus dipertahankan di dalam tanah sebagai penyeimbang lingkungan.


  
Penurunan muka air tanah

Penurunan muka air tanah sangat signifikan terjadi, terutama pada akuifer dalam. Sumber air tanah berasal dari daerah resapan air yang lokasinya jauh dan pengalirannya sampai ke daerah pengambilan air memerlukan waktu hingga ratusan tahun. Bahkan air tanah di Cekungan Bandung-Soreang umurnya mencapai ribuan tahun. Penurunan muka air tanah pada akuifer dangkal tidak separah pada akuifer dalam. Hal itu bisa terjadi karena air tanah lebih cepat terisi kembali oleh air permukaan di sekitarnya, terutama air hujan di musim hujan.Penurunan muka air tanah yang drastis terjadi terutama sejak tahun 1980-an. Hal itu seiring dengan pesatnya perkembangan industri dan permukiman penduduk.Oleh karena itu, penurunan muka air tanah paling parah terjadi di daerah industri, seperti Cimahi (sekitar Leuwigajah), Batujajar, sekitar Jln. Moh. Toha, Dayeuhkolot, Rancaekek-Cicalengka, Ujungberung, Cicaheum, dan Kiaracondong. Di daerah permukiman dan perumahan, penurunan terjadi pada muka air tanah dangkal, terlihat dari sulitnya penduduk mendapatkan air tanah dari sumur mereka.Selama 25 tahun terjadi penurunan muka air tanah sampai puluhan meter, bahkan ada yang mendekati 100 meter


dan air tanah itu sendiri adalah
Air tanah merupakan air yang berada di wilayah jenuh di bawah permukaan. Air tawar yang berada dipermukaan bumi ini sebagian besar berupa air tanah yaitu sekitar 97 % dan 2 % sisanya ada di sungai, danau, rawau, dan cekungan-cekungan permukaan. Asal air tanah juga dipergunakan sebagai monsep dalam menggolongkan air tanah ke dalam 4 tipe yang jelas (Told, 1959 dan Dam, 1966) yaitu :

ü  Air meteorik : air ini berasal dari atmosfer dan mencapai mintakat kejenuhan baik secara langsung maupun tidak langsung

ü  Air Juvenil : air ini merupakan air baru yang ditambahkan pada mintakat kejenuhan dari kerak bumi yang dalam, menurut sumber spesifiknya :

·         air magmatik

·         air gunung api dan air kosmik (yang dibawa meteor)

ü  Air diremajakan : air yang untuk sementara waktu telah dikeluarkan dari daur hidrologi oleh pelapukan, maupun oleh sebab-sebab lain, kembali kke daur lagi dengaan proses-proses metamorfis.

ü  Air konat : air yang dijebak pada beberapa batuan sedimen atau gunung pada saat asal mulanya. Air tersebut biasanya sangat mineralisasi dan mempunyai salinitas yang lebih tinggi dari pada air laut. 


Gambar ini merupakan siklus air tanah











murni sulastri
270110090102

2 komentar: